Friday, May 9, 2008

Cth Da'i Murobbi: Kisah Isteri IHAB...

Sejak mengenal nama Hasan Al Banna, hanya sedikit yang kita ketahui
bagaimana kehidupan rumah tangganya, siapa istrinya? siapa anaknya?
hanya sedikit kita yang mengetahuinya... dan ternyata beginilah
ceritanya....

Adalah Lathifah As Suri perempuan itu. Ia berdiri disamping Imam Syahid
Al Banna. Sejak awal Imam Syahid telah menegaskan bahwa ia butuh
seorang
muslimah yang kokoh, yang tak lekang dan surut oleh banyaknya halangan
dan rintangan dalam berdakwah. Perjuangan Imam Syahid bukanlah suatu
hal
yang main-main, bukan hanya sekedar dakwah seperti kebanyakan orang
waktu itu. Bukan hanya sekedar membangun rumah kardus. Imam syahid
tengah dan hendak membangun sebuah peradaban.
Dan ia percaya, peradaban tak akan pernah terwujud, tanpa seseorang
yang
ia yakini kesejatiannya.

Maka siapapun itu-pendampingnya-harus menyadari bahwa dipundaknya ada
amanah yang sama besarnya dengan yang di emban oleh Imam Syahid. Ada
dimensi waktu dan kuasa kapital disitu. Maka pertemuan diyakini menjadi
suatu hal yang mahal bagi Imam Syahid dan istrinya.

Maka bagi Lathifah As Suri menjadi istri Hasan Al Banna menyimpan
begitu
banyak geregap. Sejak awal pernikahan, Lathifah sudah menyadari bahwa
ia
harus siap jika sewaktu-waktu dia harus menjalani hidup sendiri tanpa
seseorang, tempat berlabuh hidup dan cintanya.

Dakwah Ikhwah yang dipimpin oleh suaminya banyak meminta resiko yang
bukan main-main. Penjara bahkan nyawa menjadi konsekuensi logis, yang
sewaktu-waktu siap menyapanya.

Tanpa diminta, Lathifah sudah tahu dan mengerti bagaimana ia harus
menempatkan dirinya. Ia memutuskan menutup seluruh aktivitas luarnya.
Hanya satu yang ia curahkan, jihad utamanya adalah dilingkup rumahnya
sendiri. Mengurus rumah tangga dan membesarkan anak-anak mereka berdua
adalah dua hal yang tidak kalah pentingnya dengan yang dilakukan oleh
Hasan Al Banna.
Sebelum menikah dengan Hasan Al Banna, Lathifah berasal dari keluarga
yang taat beragama. Hingga tak heran jika ia menyadari betul tuntutan
hidup menjadi istri seorang dai.

Malam, ia harus rela untuk terbangun menyambut kepulangan suaminya.
Walau tak jarang Imam Syahid berlaku sangat hati-hati, bahkan hanya
untuk membuka pintu rumahnya sekalipun. Jauh dilubuk hatinya, Imam
Syahid tidak ingin mengganggu tidur bidadari terkasihnya yang telah
seharian mengurus rumah dan anak-anak mereka berdua. Imam Syahid bahkan
tak segan untuk menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.

Lathifah tidak pernah mengeluh, walau sehari-harinya hanya ia habiskan
seputar rumah dan rumah saja. Ia tidak pernah menuntut lebih kepada
Imam
Syahid.
Padahal, Lathifah pun -berlepas diri dari ia seorang istri Imam Syahid-
menyimpan banyak potensi. Anak-anak mereka yang berjumlah enam orang
sesungguhnya adalah pencurahan konsentrasinya menjalani hidup.
Satu-satunya yang pernah membuat dirinya gamang adalah, ketika salah
satu anak mereka sakit keras dan Imam Syahid harus tetap menjalankan
jihadnya. Ia bertanya kepada suaminya,"Bagaimana jika ia meninggal?".
Imam Syahid hanya menarik napas panjang, ia kemudian berujar "Kakeknya
lebih tau bagaimana mengurusnya."

Sejak dini, Lathifah menanamkan wawasan keislaman kepada anak-anaknya.
Mendorong mereka untuk membaca, sehingga dalam hidupnya mereka tidak
terpengaruh dengan seruan-seruan destruktif. Ketika Imam Syahid
bolak-balik keluar penjara, Lathifah berusaha bersabar dan
komitmen.rnLathifah sangat menyadari peran dan kewajiban asasi seorang
wanita sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Ia kosongkan waktunya
untuk mendidik anak2nya. Ia bahagia melihat anak-anaknya sukses dalam
hal akhlak dan amal. Ini tak mungkin terjadi jika seorang ibu sibuk di
luar rumah. Seorang anak tidak mungkin belajar tentang akhlak dan amal
dari orang selain ibunya.rnKetika Hasan Al-Banna syahid, anak-anaknya
belumlah dewasa. Lathifah tidak lantas menyerah. Tak ada kesah ataupun
ketakutan dalam hatinya. Ia sangat memelihara apa yang dikehendaki oleh
mendiang suaminya. Ia tetap berlaku didalam rumah. Lathifah tidahk
meremehkan hudud (batasan) yang Allah tentukan.

Karenanya, tak heran diantara anak-anaknya tidak ada ikhtilat
(percampuran) antara anak-anaknya dan sepupunya yang berlainan
jenis.rnTidak ada yang berubah dirumah itu, apa yang Imam Syahid
inginkan berlaku dikeluarganya masih tetap di pegang teguh oleh
Lathifah. Sendirian, ia besarkan keenam anaknya.
Dirumahnya kini ia mempunyai tugas tambahan, yaitu memperdalam wawasan
keislamannya.Yang dimaksud dengan wawasan keislamannya adalah membaca
Al-Quran dengan tafsirnya, mempelajari Sunnah Rasulullah SAW, haditsnya
dilanjutkan dengan usaha kuat untuk menerapkannya. LAthifah juga masih
menyempatkan diri mempelajari sejarah para salafussalih dan berita
seputar dunia Islam. Lathifah menyadari menyepelekan masalah ini akan
memunculkan persoalan serius. Seorang yang tidak menambah pengetahuan
keislamannya, akan merasa sulit untuk bangga dengan keagungan dan
kebesaran Islam. Dengan melalui pemahaman keislaman yang baik, seorang
wanita akan menyadari betapa penting perannya terhadap keluarga dan
masyarakat."

Perjuangan Lathifah membuahkan hasil yang gemilang.
Semua anaknya sukses meraih predikat formal dalam pendidikan ilmiah.
Yang sulung, bernama Wafa-menjadi istri Dr.Said Ramadhan. Kedua Ahmad
Saiful Islam, kini sebagai sekjen advokat di Mesir. Ia juga pernah
duduk
di parlemen. Ketiga bernama Tsana, kini sebagai dosen di Universitas
Kairo. Kelima Roja, kini menjadi dokter. Dan Halah sebagai dosen
kedokteran anak di Universitas Azhar. Dan terakhir, Istisyhad sebagai
doktor ekonomi Islam. Semuanya itu sebagai bukti, betapa berartinya
sosok Ibu bagi keberhasilan dakwah sang suami. Selain juga untuk
anak-anaknya

sekedar informasi tambahan : Hasan Al Banna syahid diusianya yang masih
muda, sekitar 40 tahunan. Setelah seberondong timah panas ditembakkan
oleh musuh-musuh Islam di sebuah jalan di Kairo.rnSebenarnya Hasan Al
Banna masih bisa diselamatkan, tapi karena konspirasi politik para
musuh
Islam yang dipimpin oleh sang pengkhianat la'natullah Gamal Abden
Naser,
membuat tubuh Hasan Al Banna yang sedang sekarat dibiarkan tak berdaya,
tanpa bantuan dari siapapun juga, termasuk dokter-dokter di Rumah
Sakit.
Akhirnya sang pendiri Ikhwanul Muslimun itu pun syahid menemui kekasih
tercintanya, Rabbnya.

Musuh-musuh Islam pun banyak yang tertawa dan berpesta dengan syahidnya
sang Imam, tapi sesungguhnya Hasan Al Banna tidak pernah pergi
meninggalkan pengikutnya.Allah terlalu mencintai hamba-Nya yang satu
ini, sehingga memanggilnya terlebih dahulu.Hal yang memilukan adalah,
meskipun Ikhwanul Muslimun mempunyai puluhan ribu pengikut, tapi tak
seorangpun yang diijinkan untuk mensholati jenazah beliau, kecuali
ayahnya yang sudah udzur, saudara perempuan dan istrinya."



Subhanallah...